(Kurang) Piknik!

            Kemarin sore sepulang macul aku tak mendapati seekor anak pun di kos. Tidak heran cuma pingin koprol saja karena bukankah selayaknya orang yang capek habis macul disambut dengan senyuman atau pelukan sayang dari orang-orang tercinta? Halah! Dan seperti biasa Gendut, yang sudah lima hari ini nggak mau pakai baju, menyambutku dengan tatapan nanar (ancen isone yo mung kaya ngunu, aku sedih). Maka yang terjadi kemudian adalah pikiran yang morat-marit ke mana-mana, ambyar.

            “Blung!”

Handphone “pinjamanku” berbunyi, memberitakan ada email masuk (Unine meh padha koyok sing nyemplung nang blumbang kae).

            “Jancuk!”

            Nggak cuma misuh-misuh sendiri aku pun misuhi si penulis yang baru-baru saja ku-follow blognya (perasaan biyen wis follow tibake kok gurung hehehe). Tulisan bibik-e arek-arek itu asu sekali, njancuki. Kenapa njancuki? Karena di tengah acara leyeh-leyehku menikmati perut yang baru kuisi dan lamunan tentang puasa tahun-tahun yang lalu juga kenyataan bahwa puasa tahun ini aku akan sebulan penuh mangkal di Jogja, tulisan itu menusuk, pas kena hatiku. Jleb!

            Tuhan tidak suka setengah-setengah, begitu juga kalau sedang bercanda. Selesai membaca tulisan tadi aku mendapati tulisan lain yang langsung menyadarkanku betapa aku telah masuk golongan orang-orang yang kurang piknik! Tulisan apik dari Mas Zenrs ini bercerita tentang pengalaman bulan Ramadhan di masa kecilnya yang bukan hanya layak tapi harus dibaca! Tulisan yang kemudian menuntunku mendekati laptop kecil yang sudah kebanyakan virus itu.

            Jadi begini ceritanya…

            Meskipun sering tidak pede dengan bertanya pada Emak pertanyaan yang sama setiap hari, “Mak, aku masio ireng anakmu ya?” (nasib nduwe Emak ayu nan putih sedang diri sendiri gosong) aku cukup lincah alias ngeyelan saat kecil. Tapi ada saat di mana aku manut pada kakak-kakakku, dan itu terjadi saat bulan puasa. Selain waktu berbuka, Sholat Taraweh adalah saat yang ditunggu-tunggu. Bisa berkumpul dengan teman lebih-lebih main sampai malam tanpa perlu takut dilarang. Aku yang terlalu kecil dan belum punya rukuh sendiri harus rela jadi “pocong” hasil desain kakak-kakakku. Dengan menggunakan jarik tubuh mungilku dibalut dari atas sampai bawah. “Jarik Pocong” itulah mukenanku. Tidak penting Tarawehnya karena seperti apa yang ditulis Mas Zenrs, ibadah sebagai piknik untuk anak-anak.

            Mukena pertamaku baru kudapat ketika aku kelas enam SD. Senang? Tunggu dulu. Ekonomi keluargaku saat itu sangat jauh dari kata cukup, maka ketika aku merengek minta mukena, Emak pun membeli kain putih di pasar yang kemudian dijahitnya jadi sebuah mukena. Kalau teman-teman lain sholat jamaah di sekolah dengan riang karena bisa pamer mukenannya yang bagus, aku tidak. Aku harus sholat dengan menahan panas dan takut karena kain yang mampu Emak beli waktu itu adalah kain mori, kain kafan. Ya, mukenaku terbuat dari kain pembungkus orang mati. Tapi bukan anak-anak jika kehilangan keceriaan hanya gara-gara hal seperti ini.

            Bulan puasa dari tahun ke tahun selalu membawa ceritanya sendiri. Ketika beberapa tahun kemudian aku mendapat seorang adik kecil yang montok dan lucu, kekonyolan saat Taraweh terulang kembali. Adik kecilku itu baru berumur dua tahun dan tidak mau ditinggal di rumah. Aku yang harus mengumpulkan tanda tangan dari Pak Yai di buku khusus yang hanya keluar saat Ramadhan mau tidak mau harus membawanya.

            “Na, pipis.”

            Belum juga setengah Sholat Taraweh berjalan, adik kecilku itu tiba-tiba menarik mukenaku. Dengan wajah tak berdosanya dia minta pulang.

            “Na, eek!”

            Pinginnya tak gigit keras-keras pipinya yang montok itu saking gemesnya ketika esok hari dia mengulang permintaan yang sama, minta pulang (Iyo lek mari ngunu pipis opo eek temenan, iki mbujuk thok). Dan lagi-lagi aku hanya bisa mengabulkannya tanpa bisa protes, dia masih anak-anak. Aku juga masih “anak-anak” yang sok cemberut padahal senang nggak harus Taraweh sampai akhir.

           Maka koprolku saat membaca tulisan-tulisan di atas menjadi begitu manusiawi karena aku menyadari betapa masa-masa itu sangat nganggeni. Aku tak akan bilang orang-orang sekarang kurang piknik, cukup bagiku menyadari kalau “Aku kurang piknik! Aku kudu mbambung!”

 

 

***

 

 

           

6 thoughts on “(Kurang) Piknik!

  1. Hahaha aku pas kecil dulu mukena juga dari kain mori yang dijahit kanjengmami sendiri, sampe kelas berapa gitu belum juga diganti padahal panjang mukena atasnya cuma nutupi setengah badan.

    Aku yo pingin piknik mak, aku yo butuh mbambung! Ayo budhal!

    Like

Leave a comment