4

Pramuka Bal-Abal

Salam Pramuka!

Di hari yang diperingati sebagai Hari Pramuka ini aku mau berbagi sepenggal cerita masa lalu ketika aku mulai mengenal Pramuka.

Sebagai seorang anak, kala itu, aku tidak bisa lepas dari “paksaan dan siksaan” yang namanya sekolah. Setiap anak yang sudah cukup umur, enam tahun, harus sudah masuk SD. Keharusan bagi seluruh rakyat Indonesia yang mampu membayar biaya sekolah tentunya. Di kelas 3 SD tambahan “paksaan” lain adalah masuk Pramuka.

Seminggu sekali memang, tapi bagi seorang anak yang lebih suka bermain daripada berseragam yang seperti itu tetaplah pemaksaan apapun embel-embel namanya. Tidak juga peduli konsep yang dibawakan,  “Kepramukaan adalah proses pendidikan di luar lingkungan sekolah dan di luar lingkungan keluarga dalam bentuk kegiatan menarik, menyenangkan, sehat, teratur, terarah, praktis yang dilakukan di alam terbuka dengan Prinsip Dasar Kepramukaan dan Metode Kepramukaan, yang sasaran akhirnya pembentukan watak, akhlak dan budi pekerti luhur.” Bagiku sama saja, tidak menarik, tidak menyenangkan.

Masuk SMP, Pramuka tidak lagi wajib. Sebenarnya dari SD juga tidak wajib tapi wajib yang dipaksakan, podho ae. Tapi karena tak banyak pilihan dan waktu itu belum tahu minatnya ke mana akhirnya milih ekstra kurikulernya tetap Pramuka. Sudah milih sendiri tapi tetap terpaksa. Di SMP ini karir kepramukaanku berkembang pesat. Setelah menjadi pimpinan regu dan berhasil memenangkan lomba se-sekolahan, juara 2, namaku melambung di jagad kepramukaan sekolah. Apalagi kemudian ada embel-embel orang tua. Yes, Om Djon adalah seorang Pramuka yang levelnya sudah lumayan tinggi. Dan kebetulan juga di sekolahku guru Pembina Pramukanya adalah teman seangkatan Om Djon.

Klop! Maka setiap ada perlombaan akupun harus diseret. Tak peduli tangisanku, aku harus ikut kemah. Well yeah, aku benci kemah! Aku tidak suka pipis sembarangan (tidak di tempatnya), aku tidak suka makan yang bukan masakan emakku. Aku tidak bisa tidur kalau tidak dikeloni emakku. Kemah artinya aku harus terpisah dari semua itu. Memisahkan anak dengan emaknya itu jahat!

Aku benci Pramuka dengan seluruh kegiatannya. Aku benci meski dia mengajari bagaimana rasanya diperban dan ditandu. Badanku yang kecil (ya, aku pernah kurus imut seperti bonsai) selalu dimanfaatkan oleh teman-teman se-tim sebagai “korban” yang cocok untuk diperban dan ditandu. Aku benci meski aku akhirnya tahu bagaimana rasanya diberi bantuan pernafasan. Aku tidak merasa terhormat meski aku maju di depan puluhan anggota Pramuka lain se-kecamatan untuk membacakan UUD ’45 tanpa teks. Aku benci mencari tanda-tanda dan harus menjawab pertanyaan dengan simbol-simbol dan kode. Kenapa tidak dibicarakan langsung dengan baik-baik saja? Mau tanya apa? Kenapa harus pakai kode? Aku bisa bicara baik-baik, justru kode bisa membuat salah tafsir, salah paham. Kenapa…? *mulai hilang fokus*

Untunglah masuk SMA aku tidak lagi harus mengikuti Pramuka. Sudah cukup selempang penuh pin yang kusimpan di rumah. Yes, aku punya selempang penuh pin seperti punya Russel di film Up! Selempang yang masih tersimpan rapi di lemariku. Btw, aku suka sekali film Up! dan sudah nonton entah untuk yang ke-berapa kali. Aku tak perlu menghafal, Cinta Alam dan kasih sayang sesama manusia, aku cukup melakukannya. Aku tak perlu “doktrin” Rela menolong dan tabah, terutama bagian tabahnya *njejeri pulisi tidur*. Dia sudah masuk tak peduli bagaimana aku membencinya.

Cerita sedih tanpa ceria tentu tidak berimbang. Ho oh. Dari Pramuka aku mulai ting-ting ke lawan jenis. Jadi ceritanya pas SMP dan ikut lomba se-kecamatan ada tim SMP lain yang keren-keren! Sumpah! Ganteng dan bersahaja. Dari Pramuka aku mulai tahu bahwa arek ganteng iku onok dan perlu. Halah!

Akhir kata, Selamat Hari Pramuka. Terpaksa atau tidak, kamu pernah menjadi bagian dari hidupku. Jangan lupa untuk gembira dan bertualang karena, “Petualangan ada di luar sana!”

Pramuka penceng

Pramuka penceng

***