2

Aku Mice, Aku (Bukan) Hanya Seekor Curut

ilustrasi diambil dari google

            Mice menghentikan larinya. Tubuh kecilnya berguncang-guncang. Nafasnya berantakan, tak lagi mengikuti ritme. Peluh membasahi wajahnya, bersatu dengan airmata yang tak disadarinya mulai menetes. Suara-suara itu masih nyaring terdengar. Teriakan penuh amarah juga benci. Di antara riuh tak lagi terdengar suara Tiku, temannya. Jantung Mice masih berdetak kencang. Kedua kakinya bergetar, lemas. Untuk beberapa saat dia berusaha mengembalikan kendali atas tubuhnya.

            Merasa sudah aman, perlahan Mice bergerak. Dipaksa kakinya melangkah mesti tak terasa lagi tulang di dalamnya. Tak terdengar suara. Tak ingin bernasib sama dengan Tiku, Mice membalik arahnya. Meski begitu sekilas tertangkap oleh sudut matanya noda di atas lantai. Tak ada sosok Tiku. Hanya darah yang tercecer, mungkin juga kulit atau daging yang terkelupas. Mice tak tahu, tak mau tahu.

            “Maafkan aku, Tiku,” bisiknya lirih.

            Dalam kamar mata Mice tak juga terpejam. Emak yang melihat anaknya masih terjaga menghampirinya.

            “Belum tidur?” tanyanya.

            Mice menggeleng sebagai jawaban. Emak mendesah pelan. Dia tahu betul apa yang dirasakan anaknya itu. Dielus-elus kepala Mice dengan lembut sembari duduk di sampingnya. Bukan yang pertama kali, sudah biasa bahkan, batinnya.

            “Mak,” Mice membuka mulut.

            “Ya.”

            “Kenapa kita dilahirkan di dunia ini?” tanya Mice.

            “Sebenarnya untuk apa kita diciptakan, Mak?” lanjutnyalagi.

            “Kok tanyanya seperti itu?”

            “Emak percaya bahwa tidak ada di dunia ini yang diciptakan sia-sia?”

            “Lho, bukannya memang begitu?” kata emak balik bertanya.

            “Lalu menurut emak, kita ini diciptakan untuk apa?”

            Emak diam. Kerut di keningnya semakin kentara.

            “Biar manusia bisa mengerti rasanya jijik,” jawabnya kemudian.

            “Bukankah itu tidak adil, Mak? Jika kita diciptakan untuk mereka agar mereka mengerti seperti apa rasanya jijik lalu kenapa dengan seenaknya mereka mengadili kita, menghakimi seolah kita tak berguna?”

            “Kita diciptakan memang untuk mereka.”

            “Tidak untuk diri kita sendiri, Mak? Tidak untuk kita menentukan nasib kita sendiri? Tidak terdengar adil bagiku, Mak.”

            “Mungkin tapi kita sudah seperti ini sejak nenek moyang kita,” katanya sambil berdiri.

            “Aku tidak ingin seperti mereka, Mak. Aku tidak mau seperti nenek moyang kita. Itu sumpahku Mak.”

            Emak yang sudah di ambang pintu menoleh sebentar kemudian tersenyum.

            “Tentu saja,” katanya.

            Sisa malam yang tinggal sebentar dihabiskan Mice dengan merenung. Matanya tak juga mau terpejam. Sekilas bayangan kejadian tadi pagi kembali muncul. Mice bergidik. Ketika pagi menjelang Mice mulai terlelap.

            “Pukul! Jangan sampai lolos!”

            “Dasar binatang menjijikkan!”

            Mice berlarian di antara para pengejar yang kelihatan beringas. Sebagian dari mereka mulai mengepung. Mice berusaha menghindar dari hantaman kayu juga gagang sapu. Suara-suara itu semakin semangat.

            “Cari mampus kamu!”

            “Binatang busuk. Kamu nggak pantas hidup!”

            Sorak sorai kembali ramai begitu pukulan salah seorang pengejar mengenai tubuh mungil Mice. Mice mengaduh. Sebuah pukulan kembali mengenainya, kali ini pada kakinya. Tak berdaya Mice pun tergeletak.

            “Buang saja ke selokan!”

            “Pukul lagi kepalanya. Pastikan dia benar-benar mampus!”

            Darah keluar dari sekujur tubuh Mice. Kepalanya terkulai dengan darah yang semakin deras mengalir.

            “Aku, kamu Mice, kita ini hanya seekor curut,” kata-kata emaknya semalam kembali terngiang.

            Dalam kondisi lemah bayangan Tiku, temannya, muncul di depannya. Sebaris senyum hadir di bibir Mice. Sinis.

            “Manusia seperti inikah yang menurutmu lebih pantas tinggal di bumi ini, Mak?” katanya pelan.

            Perlahan matanya mulai terpejam. Gelap.

Surabaya, 26 Mei 2011

***