Urip Pisan Kok Ambyar

sunrise di puncak Nglanggeran (dok.pribadi)

            Mungkin aku sekian dari sekian orang beruntung (atau sial) yang bisa mengenal sosok galau yang “kata-kata mutiaranya” aku jadikan judul di postingan ini. Jangan protes dulu, aku tidak akan membahas sosok yang punya jabatan paling “wah” di antara kami sesama teman yaitu sebagai Sekjend Galau. Sejak mendengar quote-nya yang selalu berhasil membuatku terbahak aku semakin sadar bahwa hidupku tak jauh beda dengannya, ambyar.

            Melakukan hal-hal yang ora mutu, yo mung ning rendah (quote lain dari seorang teman) sudah biasa aku dan teman-temanku lakukan. Hal yang kemudian menjadi semacam kebiasaan ini bahkan menjadi agenda wajib yang sering secara spontan tercetus dari bibir-bibir kami yang kiwir-kiwir. Setelah sebelumnya menikmati acara Girls’ Day Out di Pantai Seruni yang disusupi sebuah Tripod (anggap saja begitu karena tugasnya kurang lebih seperti itu hehe, ampun) kemarin, Rabu Pon tanggal 3 Juli 2012, kami kembali beraksi.

            Bertempat di apartemen kelas wahid di daerah Jakal (bahno, kos-kosanku dewe kok tak apik-apikno lak uwes, karepku) kami sepakat untuk berkumpul. Dari sekian banyak yang dikabari, sekian saja yang konfirmasi dan semakin sekian (kecil) yang bisa ikut. Kukatakan bisa karena aku yakin mereka mau ikut hanya saja tidak bisa karena “kesibukan masing-masing.” Tidak mengagetkan karena kami memang sering seperti ini. Katanya tidak ikut tapi tiba-tiba muncul. Bilang tidak bisa eh mak bedunduk njebus karo mesam-mesem (pokok gak trus ngeseng nang kathok yo gak popo).

            Sempat kekurangan orang karena yang ikut meski terlihat garang tapi tak lebih dari banci nebeng alias nggak bisa nyetir motor, akhirnya pada detk-detik terakhir (setelah ditelpon berkali-kali juga sms tidak dijawab yang kemudian dikonfirmasi ketika bertemu langsung bahwa yang bersangkutan sedang bobok, asyu!) Sekjend Galau yang punya quote di atas muncul bak pahlawan (pisan iki ae diapik-apik) menyelamatkan formasi. Meluncur sekitar pukul delapan, kami menjemput seorang personil (yang nggak kalah bancinya).

            Berhenti di warung lesehan (rodo elit) kami menunggu lebih dari setengah jam untuk bisa mengisi perut. Lama, sangat lama bagi perut kami yang memang sudah kelaparan. Sebuah penantian yang kami isi dengan obrolan juga canda (macak keluarga bahagia) akhirnya berbuah manis, pesanan kami datang dengan rasa yang tidak mengecewakan terutama Rica-rica Ceker-nya yang mintilihir sekali. Kembali melaju sekitar pukul sebelas malam kami sampai di tujuan. Oh iya, tujuan kami kali ini Gunung Api purba Nglanggeran, sebuah gunung wisata di wilayah Gunung Kidul yang tidak pernah membuat kami bosan.

Bulan (dok.pribadi)ndemi

            Bulan begitu indah malam itu, bersinar terang dan penuh. Meski tanpa penerangan tambahan yang memadai pandangan kami tak begitu terganggu. Membawa seorang “anak baru” kami harus lebih sering istirahat (alasan, asline sing nulis yo ngos-ngosan). Akhirnya jam setengah dua belas kurang sekian menit kami sampai di sekitar puncak. Langsung mendirikan tenda kami sedikit terburu-buru karena tidak ingin melewatkan momen pergantian tanggal. Maka ketika jam di handphone sudah mendekati 00 kami pun segera naik ke salah satu puncak untuk memulai “acara.”

            Tepat pukul 00.00 tanggal 4 Juli, menandai bertambahnya umur seorang kawan lilin pun dinyalakan. Diiringi lagu ulang tahun, dari handphone, yang umurnya nggak kalah purba dari Nglanggeran lilin ditiup oleh birthday girl setelah mengucapkan harapan dan doa dalam hati. Makan kue yang dibawa sendiri oleh yang ulang tahun, ini bukan pesta kejutan, kami pun kembali meracau. Tak lama karena angin bertiup amat kencang dan kami sudah menggigil, kami pun memutuskan masuk ke tenda. Tak banyak obrolan karena tubuh kami juga sudah lelah dan kami didera kantuk hebat (kecuali Sekjend Galau yang karena persepsinya sendiri tidak bisa merokok malam itu).

            Berkali-kali Si Sekjend Galau (sengaja memakai nama samaran demi menjaga keluarga juga teman yang mungkin dan kemungkinan besar malu) menggedor tenda kami. Kami berangkat berenam dan membawa dua tenda jadi masing-masing tenda berisi tiga orang, untuk informasi saja. Dia yang merasa pahit bibirnya tanpa rokok mengajak kami bangun untuk muncak dan menunggu matahari terbit. Tentu kami masih malas. Hawa masih begitu dingin dan matahari masih jauh maka kami abaikan laki-laki itu.

            Sekitar pukul lima pagi, masih dengan kantuk karena tak satu pun dari kami bisa benar-benar tidur kami pun keluar dari tenda. Di atas sudah ada beberapa pemuda dan pemudi yang punya niat sama, menanti matahari terbit. Setelah matahari terbit kami langsung turun dan mengemasi tenda juga bawaan kami. Tanpa istirahat kami juga langsung turun dan meluncur kembali ke Jogja karena dua dari kami harus masuk kerja. Dibilang pindah tidur kami juga tidak tidur. Seperti ini memang tidak bisa didefinisikan, tidak pernah kami coba definisikan.

Make a wish opo kesurupan? (dok.pribadi)

tiup lilin (dok.pribadi)

            Seperti quote andalan Sekjend Galau, hidup kami memang ambyar, nggak jelas. Kesana kemari tanpa alamat apalagi tujuan pasti. Hanya mengikuti apa yang diinginkan hati (uhuk, kleleken tronton) dan senang sudah kami. Selamat ulang tahun untuk Ika Maria dan Izzah yang malam itu tidak bisa ikut semoga hidup kalian selalu berwarna tidak hanya seperti Rainbow Cake tapi lebih banyak lagi warna. Bahagia itu sederhana, se-ambyar apapun hidupmu pastikan itu memang pilihanmu. Jadi kalau ada yang bilang, “urip pisan kok ambyar” kamu bisa menjawab dengan “lek uripku ambyar, koen kate lapo?”

10 thoughts on “Urip Pisan Kok Ambyar

Leave a comment