Pagi yang kesiangan, entahlah, matahari belum tinggi disini tapi teriknya jangan ditanya
Kutemui laki-laki tua itu dalam sebuah angkot
Duduk di pojokan dengan mata berat menahan kantuk
Tangannya mengenggam untaian balon
Umurnya, kutaksir tujuh puluhan
Kerut di wajahnya juga ringkih tubuh kecilnya yang membuatku merasa benar dengan perkiraanku
Ada yang bilang kerasnya hidup memakan badan, membuat orang terlihat lebih tua dari aslinya
Ya, aku tidak lupa itu
Kulirik dia dan langsung pikiran ini disergap malu
Sempat berpikir merogoh kantong celanaku
Ah, tentu tak akan kulakukan
Itu hanya akan menjadi penghinaan baginya
Aku tidak akan menghinanya dengan menyodorkan selembar kertas
Kalau dia mau bisa saja dia berdiri di bawah lampu merah menengadahkan tangan pada setiap kendaraan yang berhenti
Atau duduk di pinggir jalan, diam
Aku yakin akan banyak receh dilemparkan di depannya
Angkot berhenti
Seorang perempuan muda dengan dandanan rapi naik
Kulihat dia melirik laki-laki tua penjual balon itu
Dia memandangku sekilas
Ah, aku tahu pandangan itu
Tangan perempuan itu bergerak, meraih tas plastik yang dibawanya
Beberapa roti dikeluarkan dari kotak bekalnya lalu dibungkusnya dengan kresek
“Untuk sarapan,” katanya sambil menyerahkan bungkusan itu
Laki-laki tua itu menerimanya
Kemudian lahap dimakannya
“Trimakasih,” kata laki-laki tua itu
Angkot kembali melaju
Menerobos puluhan kendaraan yang lalu-lalang kesetanan
Pagi yang sama, pagi yang kesiangan
Jalanan yang sama dengan wajah tegang, garang tapi juga lelah
Angkotku berhenti, menurunkanku
Pagi ini sampai disini saja, Pak Tua
Kutinggalkan laki-laki tua penjual balon itu terkantuk di pojok angkot yang langsung berlalu, kencang
seharusnya kau memberikan balon warna-warni itu untukku kakak…
LikeLike
seharusnya kau disini bersamaku, sayangnya kau tak ada #eaaa
LikeLike
aku tahu lelaki tua itu, kata suamiku, sejak suamiku masih duduk di sekolah dasar bapak itu sudah berjualan keliling di daerah sekitar rumah suamiku (yang sekarang kutinggali bersama keluarga). Suatu kali suamiku pernah mengajaknya ngobrol sembari membelikan balon buat anakku, kata bapak tua itu, sekarang keempat anak-anaknya sudah besar-besar sudah berkeluarga semua. Aku pernah bertemu dengan beberapa orang tua seperti bapak itu, ada yang berjualan saridele dengan mendorong gerobak tanpa bersuara, hanya gerobaknya saja si beri tulisan Sari Dele, kulitnya legam badanya bongkok berjalan kaki dari rumahnya daerah sepanjang sejak usai subuh pulang menjelang isya’ , ada juga yang berjualan pete, jeruk pecel, mangga, biasanya stand by di seberang pasar keputran setia menunggui dagangannya dari pagi hingga malam, tidur di emperan toko, ada juga bapak tua yang bekerja digalangan, tubuh ringkih tuanya menarik gerobak penuh pasir pesanan orang. Beberapa orang tua memang tak ingin menghabiskan hari tuanya dengan berleha-leha, dengan bekerja mereka merasa punya arti. Why don’t we try to do something to help them, seringnya sih aku dan suami cuma baru tahap ngajak mereka ngobrol-ngobrol sembari membeli dagangan mereka, kalo bapak tua yang kerja digalangan sih baru dalam tahap menyapa dan ngasih duit aja kalo pas ketemu.
LikeLike
Yup, banyak banget orang-orang seperti mereka mbak. Peduli bukan kasihan karena aku yakin orang seperti mereka tidak pantas dikasihani, mereka pejuang. Orang yang “mampu” dan lebih suka “dikasihanilah” yang kasihan, pantas dikasihani.
LikeLike
Semoga panjang umur dan d beri kesehatan selalu Paman Toirin, Dikau adalah inspirasi bagi kaum muda, kau tanpa lelah tuk jalani hidup ini bekerja keras tanpa mengenal lelah. Aku sebagai keponakan bangga punya Paman seperti engkau.
LikeLike
Ayahanda Bapak toirin hari ini udh pergi.. :’)
LikeLike
Beneran? 😦
LikeLike