Laki-Laki Tua Penjual Balon

laki-laki tua penjual balon (dok. pribadi)

Pagi yang kesiangan, entahlah, matahari belum tinggi disini tapi teriknya jangan ditanya

Kutemui laki-laki tua itu dalam sebuah angkot

Duduk di pojokan dengan mata berat menahan kantuk

Tangannya mengenggam untaian balon

Umurnya, kutaksir tujuh puluhan

Kerut di wajahnya juga ringkih tubuh kecilnya yang membuatku merasa benar dengan perkiraanku

Ada yang bilang kerasnya hidup memakan badan, membuat orang terlihat lebih tua dari aslinya

Ya, aku tidak lupa itu

Kulirik dia dan langsung pikiran ini disergap malu

Sempat berpikir merogoh kantong celanaku

Ah, tentu tak akan kulakukan

Itu hanya akan menjadi penghinaan baginya

Aku tidak akan menghinanya dengan menyodorkan selembar kertas

Kalau dia mau bisa saja dia berdiri di bawah lampu merah menengadahkan tangan pada setiap kendaraan yang berhenti

Atau duduk di pinggir jalan, diam

Aku yakin akan banyak receh dilemparkan di depannya

Angkot berhenti

Seorang perempuan muda dengan dandanan rapi naik

Kulihat dia melirik laki-laki tua penjual balon itu

Dia memandangku sekilas

Ah, aku tahu pandangan itu

Tangan perempuan itu bergerak, meraih tas plastik yang dibawanya

Beberapa roti dikeluarkan dari kotak bekalnya lalu dibungkusnya dengan kresek

“Untuk sarapan,” katanya sambil menyerahkan bungkusan itu

Laki-laki tua itu menerimanya

Kemudian lahap dimakannya

“Trimakasih,” kata laki-laki tua itu

Angkot kembali melaju

Menerobos puluhan kendaraan yang lalu-lalang kesetanan

Pagi yang sama, pagi yang kesiangan

Jalanan yang sama dengan wajah tegang, garang tapi juga lelah

Angkotku berhenti, menurunkanku

Pagi ini sampai disini saja, Pak Tua

Kutinggalkan laki-laki tua penjual balon itu terkantuk di pojok angkot yang langsung berlalu, kencang

7 thoughts on “Laki-Laki Tua Penjual Balon

  1. aku tahu lelaki tua itu, kata suamiku, sejak suamiku masih duduk di sekolah dasar bapak itu sudah berjualan keliling di daerah sekitar rumah suamiku (yang sekarang kutinggali bersama keluarga). Suatu kali suamiku pernah mengajaknya ngobrol sembari membelikan balon buat anakku, kata bapak tua itu, sekarang keempat anak-anaknya sudah besar-besar sudah berkeluarga semua. Aku pernah bertemu dengan beberapa orang tua seperti bapak itu, ada yang berjualan saridele dengan mendorong gerobak tanpa bersuara, hanya gerobaknya saja si beri tulisan Sari Dele, kulitnya legam badanya bongkok berjalan kaki dari rumahnya daerah sepanjang sejak usai subuh pulang menjelang isya’ , ada juga yang berjualan pete, jeruk pecel, mangga, biasanya stand by di seberang pasar keputran setia menunggui dagangannya dari pagi hingga malam, tidur di emperan toko, ada juga bapak tua yang bekerja digalangan, tubuh ringkih tuanya menarik gerobak penuh pasir pesanan orang. Beberapa orang tua memang tak ingin menghabiskan hari tuanya dengan berleha-leha, dengan bekerja mereka merasa punya arti. Why don’t we try to do something to help them, seringnya sih aku dan suami cuma baru tahap ngajak mereka ngobrol-ngobrol sembari membeli dagangan mereka, kalo bapak tua yang kerja digalangan sih baru dalam tahap menyapa dan ngasih duit aja kalo pas ketemu.

    Like

    • Yup, banyak banget orang-orang seperti mereka mbak. Peduli bukan kasihan karena aku yakin orang seperti mereka tidak pantas dikasihani, mereka pejuang. Orang yang “mampu” dan lebih suka “dikasihanilah” yang kasihan, pantas dikasihani.

      Like

  2. Semoga panjang umur dan d beri kesehatan selalu Paman Toirin, Dikau adalah inspirasi bagi kaum muda, kau tanpa lelah tuk jalani hidup ini bekerja keras tanpa mengenal lelah. Aku sebagai keponakan bangga punya Paman seperti engkau.

    Like

Leave a comment