TIKNO OH TIKNO

“Ayo! Iya kesini! Ayo! Lihat sini!”

Tikno tampak gemas. Sesekali tangannya saling meremas. Matanya lurus memandang ke depan. Mulutnya komat-kamit seolah mengucapkan sesuatu. Berteriak tapi yang terdengar hanya sebuah bisikan. Kemeja putihnya mulai basah. Dari poninya menetes peluh, jatuh ke dahi juga pipinya. Segerombolan anak lewat di depannya, menghalangi pandangannya. Kepalanya bergerak, celingukan. Tak ingin kehilangan sosok yang sedari tadi menawan matanya, Tikno menggeser posisinya. Tidak jauh, dua jengkal saja.

“Ayo dong, sebentar saja,” bisiknya.

Keringat makin deras membasahi kemejanya. Jantungnya mulai berdegup lebih kencang dari biasanya.

Bukk!

Sebuah tepukan, cukup keras, mengenai pundaknya. Membuat Tikno yang sedang dalam konsentrasi penuh kehilangan kendalinya.

“Anjrut!”

Karena kaget Tikno memaki. Suaranya yang keras membuat anak-anak yang siang itu banyak bergerombol di hall kampus menoleh, melihatnya. Sebuah tawa langsung membahana, menertawai Tikno yang terlihat seperti nenek-nenek yang latah. Mengetahui kalau Ardi yang telah membuatnya kaget Tikno pun meneruskan makiannya. Tak lama karena dia kembali teringat sesuatu, sesuatu yang menarik hatinya.

“Yah…yah, ilang deh.”

Ardi yang tadi tertawa terdiam melihat temannya kebingungan. Matanya mengikuti pandangan Tikno, meski dia tidak tahu apa yang dicarinya.

“Nyari siapa?”

Menyadari incarannya telah hilang tubuh Tikno lunglai. Diseret kakinya menjauh, keluar kampus. Ardi mengikuti langkah temannya itu.

“Popy?”

Tikno diam, tak menjawab. Terus diseret kakinya menuju tempat parkir sepeda motor yang ada di samping kampus. Melihat temannya, Ardi hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Paham sudah dia. Rupanya sedari tadi Tikno sedang mengamati Popy, gadis yang sejak setahun lalu telah menyiksa malam-malamnya.

“Kalo maju ya maju, jangan seperti ini, pengecut. Tinggal ngomong, selesai.”

“Tinggal ngomong? Kamu sih gampang ngomong, nggak ngrasain.”

“Kamu mau kayak gini terus? Ada juga capek, makan ati.”

Sudah sering Ardi menasihati temannya itu. Dia tahu betul Tikno tergila-gila pada teman kampusnya itu. Tidak salah, wajar. Dia sendiri juga suka dengan Popy. Popy yang pandai bergaul, pintar, cantik, murah senyum, banyak. Tidak ada yang salah juga dengan Tikno. Temannya itu juga pintar, kalau dilihat lama-lama juga ganteng. Mungkin bedanya yang terlalu menonjol adalah Tikno tipe penyendiri, tak pandai bergaul.

“Sudah, tembak aja,” saran Ardi suatu kali.

“Yang bener aja, kenal juga nggak.”

“Nggak kenal gimana maksudmu? Jelas-jelas kita satu kampus.”

“Kalo itu semua juga tahu. Aku kan hampir nggak pernah bicara padanya, nggak pernah ngobrol. Lha kalo aku trus tiba-tiba nembak apa nggak lucu?”

“Justru itu bagus. Cewek suka yang lucu-lucu.”

“Gila!”

Dan teruslah Tikno larut dalam angannya sendiri. Hampir setiap malam Popy muncul di mimpinya. Kalau pagi dia bangun dengan senyum secerah mentari itu artinya semalam dia baru mimpi indah bersama gadis khayalannya. Sebaliknya jika dia bangun dengan muka ditekuk, kusut, pasti ada yang tidak beres dengan mimpinya semalam. Mimpi, semua hanya dalam dunianya yang bernama mimpi.

Seperti waktu itu. Ardi baru saja membuka matanya ketika lirih telinganya menangkap sebuah suara, suara mengiba. Dikucek kedua matanya tanpa ada niat untuk bangkit dari tidurnya. Begitu matanya cukup lebar, jelaslah suara siapa yang dia dengar. Rupanya Tikno baru saja sembahyang. Tangannya tampak menengadah, meminta pada tuhannya, entah mengadu. Mendengar doanya siapa yang tidak trenyuh. Ardi yang terkenal bebal pun tersentuh.

“Tuhan, aku tidak pernah meminta sesuatu padaMu, pernah sih tapi belum Kau kabulkan. Jika saat ini permintaanku sebelumnya masih dalam antrian tolong jangan dikabulkan, batalkan semuanya. Anggap aku tidak pernah meminta sebelumnya tuhan. Hanya satu yang kuminta saat ini tuhan, jangan biarkan Popy menikah dengan cowok itu, jangan dengan cowok manapun kecuali aku. Tolong tuhan. Dulu Kau tak mengabulkan permintaanku yang ingin punya pacar ketika masih es em pe, es em ma juga. Dulu aku marah, aku kecewa tapi sekarang aku sadar Kau menunggu saat yang tepat. Maka inilah saat yang tepat tuhan. Aku mau Popy jadi pacarku tuhan, jadi istriku juga. Jangan biarkan ada yang menyentuhnya, aku tidak akan rela. Jangan biarkan ada yang merebutnya, berikan dia hanya untukku tuhan. Kabulkan pintaku tuhan karena aku sudah membatalkan pintaku yang lain. Satu ini saja.”

Mata Ardi yang tadi masih lengket semakin menyala, hilang sudah kantuknya. Doa Tikno telah menyentuh kalbunya yang terdalam, hatinya sakit, terluka. Tak disangkanya teman yang selama ini selalu bersamanya dalam suka dan duka, berdesakan di kamar kos yang sempit telah kehilangan akalnya, gila.

“Amin!” bisiknya.

Usut punya usut rupanya semalam Tikno baru bermimpi kalau Popy bertunangan dengan seorang cowok. Tikno sudah berusaha menghentikannya tapi tak berhasil. Dia memohon, meraung di kaki Popy tapi cewek itu tak peduli dan terus saja berlalu bersama tunangannya.

“Menurutmu apa yang harus aku lakukan?”

Tidak sekali dua kali Ardi mendapat pertanyaan yang sama dari Tikno. Jawabannya sendiri juga selalu sama, tembak saja. Ardi selalu mengagumi kecerdasan Tikno. Dia yang setiap akan ujian mati-matian belajar tak pernah sekalipun mengalahkan Tikno yang lebih banyak tidur dari pada memelototi diktat-diktat tebal. Tapi untuk urusan perasaan, cinta, Ardi boleh sedikit berbangga. Meski dirinya sendiri belum punya pacar tapi dia tidak semenyedihkan Tikno, menurutnya tentunya. Beberapa kali dia dekat dengan cewek di kampusnya dan hampir semuanya berakhir tragis, ditolak.

“Jangan bilang tembak saja,” kali ini Tikno langsung mendahului sebelum Ardi mengucapkan kata saktinya.

Ardi menggaruk-garuk kepalanya.

“Kamu tidak pintar bicara sama cewek jadinya susah.”

Jari-jari Ardi mempermainkan pensil di tangannya, mencoba mencari ide. Tiba-tiba matanya bersinar, terang. Sebuah ide muncul dari kepalanya. Ide yang menurutnya cukup jitu dan tentu aman. Tikno mendengarkan dengan seksama, lebih seksama dibanding ketika mendengarkan dosennya memberikan kuliah. Kepalanya mengangguk-angguk tiap kali Ardi meminta persetujuannya. Ide yang sempurna.

Popy baru saja menyelesaikan papernya ketika tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Rupanya si bibi mengantarkan sebuah surat untuknya. Kaget, tentu saja. Hampir seumur hidupnya Popy belum pernah menerima surat, kecuali surat undangan untuk orang tuanya dari sekolah, itu pun tidak melalui pos tapi langsung dibawanya. Dipandanginya amplop berwarna merah muda yang saat ini sudah ada di genggamannya. Ada perangko, ada cap pos, nama dan alamatnya tertera di bagian depan. Dibaliknya amplop surat untuk melihat pengirimnya. Kosong, tak ada nama juga alamat.

Karena penasaran Popy pun segera merobek sisi amplop, mengeluarkan surat yang ternyata juga ditulis di atas kertas berwarna merah muda. Mata Popy mulai menjelajahi deretan kata yang tak bisa dibilang rapi. Sesekali dia berhenti, berbalik ke atas sebelum melanjutkan kembali.

Surabaya, 6 Juli 2010

Kamar kos 21.35 wib

Dear Popy,

Gimana kabarnya Pop? Tentunya baik-baik saja bukan. Aku selalu mendoakan kamu baik-baik saja mesti aku juga yakin tuhan pasti melindungimu. Aku juga bisa dibilang baik-baik saja meski akhir-akhir ini susah tidur. Tapi kamu nggak perlu khawatir, aku biasa kok seperti ini. Kabar papa mama baik juga kan? Meski aku juga belum kenal, aku selalu mendoakan papa mamamu agar selalu sehat dan bahagia.

Popy berhenti membaca. Bingung.

Kamu pasti bingung menerima suratku ini. Tadinya aku juga tidak begitu setuju dengan ide ini tapi setelah kupikir-pikir kurasa ide ini yang terbaik, cara yang tepat. Sebelumnya aku mau minta maaf kalau sudah mengganggu waktu belajarmu, aku nggak maksud begitu. Aku minta maaf juga karena tidak memberitahu atau minta ijin dulu untuk mengirimkan surat ini padamu. Aku meminta alamat rumahmu di bagian akademik kampus, ke Pak Tarno. Kamu pasti kenal, orangnya baik.

Lagi-lagi Popy menghentikan bacaannya. Bukan hanya karena bertele-tele tapi juga karena  tulisannya yang susah dibaca. Popy membetulkan letak duduknya sebelum kembali meneruskan membaca.

Sejak melihatmu di perpus waktu itu, aku tak bisa berhenti memikirkanmu. Aku nggak nyangka kalau cewek yang punya banyak teman seperti kamu ternyata suka juga tempat pengap dengan rak penuh buku-buku berdebu. Kamu tidak melihatku waktu itu, bukan karena terlalu jauh kurasa tapi karena kamu begitu asyik dengan buku bacaanmu. Kamu tau nggak, aku juga punya lho buku itu. Sebenarnya aku membelinya di Blauran. Tau kan Blauran? Tempat buku-buku bekas, loakan. Waktu itu aku bertanya-tanya apa yang kau baca sehingga bisa menarik seluruh perhatianmu. Kamu pasti tidak tau kalo aku terus mengamatimu.

Aku masih mengamatimu, aku bahkan mulai menikmati memandangi wajahmu. Kadang bibirmu tersenyum, kadang matamu melotot. Aku tertawa sendiri melihatmu. Sampai suatu saat ketika tiba-tiba kulihat kamu menghapus sesuatu yang jatuh di pipimu. Kamu menangis. Waktu itu ingin sekali aku mendekatimu, sekedar menanyakan apa kamu baik-baik saja tapi aku tidak bisa. Kakiku kaku. Aku hanya bisa memandangimu dari tempatku dan berharap kalo tidak terjadi apa-apa denganmu.

Popy meletakkan surat itu ke atas meja. Diraihnya gelas air putih di depannya lalu mulai meneguk isinya.

Air matamu masih menetes. Hatiku sakit sekali saat itu. Kita memang satu kampus, satu angkatan, satu jurusan tapi selama ini kita tidak pernah saling menyapa. Aku juga tidak yakin kamu benar-benar mengenalku. Aku tahu kamu, aku melihatmu. Kamu cantik, semua juga tahu. Kamu pintar, kurasa semua juga setuju tapi bukan itu yang membuatku tertarik. Hari itu, di perpus, ketika aku melihatmu menangis sebuah rasa tiba-tiba muncul. Aku ingin melindungimu. Aku ingin sekali menghapus air matamu. Dan untuk pertama kalinya, aku jatuh cinta padamu.

Aku masih menyimpan buku itu Pop, bahkan aku sering membacanya meski sampai saat ini aku tidak tahu bagian mana yang membuatmu meneteskan air mata. Buku itu memang bagus. Kurasa anak-anak sekarang harus membacanya agar mereka bisa belajar menghargai apa yang mereka miliki. Aku yakin jika aku masih kecil ketika membacanya aku akan suka, mungkin juga aku akan menangis tapi aku tidak mau bohong, aku ingin jujur padamu kalo aku tidak begitu suka membaca buku-buku seperti itu. Aku lebih suka membaca komik seperti Conan atau novel-novel misteri.

Kalo nggak salah dulu pernah ada sinetronnya ya di tv? Keluarga Cemara, sama dengan judul bukunya karangan Arswendo. Ya, rupanya buku itu yang sedang kamu baca saat itu. Kembali pada apa yang ingin kukatakan padamu. Selama setahun ini aku terus mengamatimu, memandangimu, meski hanya dari kejauhan, berharap kamu menoleh dan melihatku. Kamu selalu dikelilingi teman-temanmu, aku tidak berani. Jujur meskipun kamu sedang sendiri pun aku belum berani mendekatimu. Aku tidak bisa mengendalikan jantungku yang rasanya seperti akan keluar. Memalukan memang.

Ingin aku bicara padamu, ngobrol seperti anak-anak yang lain. Kamu sangat ramah, kurasa kamu tak akan menolakku tapi bibirku selalu kelu, kakiku tak mau diajak kompromi, akhirnya aku hanya bisa mematung, memuaskan diri mengagumimu dari jauh. Maka ketika Ardi mengusulkan agar aku mengirim surat padamu aku setuju. Setidaknya aku bisa lebih leluasa mengatakan apa yang ingin kukatakan selama ini. Aku ingin kamu tau perasaanku selama ini. Aku bukan hanya menyukaimu Pop, aku mencintaimu. Belum pernah aku merasakan yang seperti ini dan rasanya indah sekaligus sakit. Indah mengangankanmu, sakit ketika aku sadar semua hanya anganku, khayalan.

Popy terbatuk. Dilepaskan genggamannya pada surat. Tangan kanannya kembali meraih gelas air putih, diteguknya sampai habis. Tak lama. Kembali dilanjutkan membaca surat yang belum dia tahu siapa pengirimnya itu.

Aku tidak ingin terus berkhayal Pop, aku tidak ingin terus tersiksa. Dengan suratku ini kuharap kamu tahu perasaanku dan tentunya kuberharap kamu mau menerima cintaku. Aku ingin kamu jadi pacarku Pop, bukan itu saja aku juga sudah memantapkan hati, aku ingin kamu jadi istriku. Tidak perlu buru-buru menjawab, aku akan menunggu kapanpun kamu siap menjawab. Sampai saat itu aku akan terus menjaga cintaku ini untukmu.

Dariku yang selalu mengagumimu,

Tikno

Popy mendesah. Seolah tidak percaya dengan apa yang baru dibacanya. Tidak menyangka jika selama ini ada yang memperhatikannya. Dia benar, Popy memang tidak tahu jika ada yang melihatnya menangis di perpus waktu itu. Popy melipat kembali surat itu dan memasukannya ke amplop sebelum kemudian membaringkan tubuhnya ke atas ranjang.

“Sudah dibaca suratnya?”

“Surat?” Popy coba mengingat. “Jadi kamu yang mengirim surat itu?”

“Bukan aku tapi dia,” kata Ardi sambil menunjuk Tikno yang berdiri tak jauh darinya.

Tikno tersenyum ketika Popy memandangnya, senyum malu. Tikno tidak berani menanyakan sendiri mengenai suratnya dan setelah merayu Ardi dan berjanji akan mengerjakan papernya akhirnya Ardi menyetujui.

“Kamu Ardi kan?”

Ardi mengangguk. Selanjutnya Popy tampak bicara serius dan Ardi hanya mendengarkan. Sesekali Ardi tampak mengangguk-angguk. Tak lama kemudian Popy berlalu, meninggalkan Ardi yang masih mematung. Tikno yang penasaran langsung mendekati temannya itu.

“Gimana? Diterima nggak?”

“Mungkin bukan jodohmu Tik. Dia sudah punya tunangan. Begitu lulus nanti mereka akan segera menikah.”

Saat ini tubuh Tikno seolah dijatuhi gunung yang sangat besar. Berat. Kakinya lunglai. Kantin yang cukup ramai siang ini tiba-tiba menjadi hening. Dari pengeras suara yang ada di beberapa sudut kantin sebuah lagu mengalun. Lagu yang seolah ditujukan untuk Tikno, lagu yang menyuarakan perasaan Tikno saat ini.

Aku sekuat hatiku,

mencoba bertahan, mencoba melawan

dan harus kau tau yang kuingin saat ini

aku pergi

aku sekuat hatiku

tak boleh menangis, tak boleh bersedih

dan harus kau boleh tau, jika boleh jujur

ingin kupukul pacarmu

(Saat-saat menyebalkan, Tipe X)

4 thoughts on “TIKNO OH TIKNO

Leave a comment